-->

CATATAN CINTA GREG 3 : WAIT THE RIGHT MOMENT !


Kota Kenangan, 15 Juli Tahun Perdana Perkawinan Kami

Pagi tadi, ‘wajah formal’ Bu Rani, kembali hadir di depan mejaku, seperti biasa. Ada desakan dalam hatiku untuk mulai menasehatinya tentang penampilan, harusnya begini atau begitu. Tapi, aku harus menahan diri. Belum saatnya untuk mengubah ini dan itu yang tidak terlalu mendesak di perusahaan ini. Jauh lebih bijaksana membiarkan dulu apa yang ada sambil menunggu moment demi moment.

‘Ada yang bisa saya bantu, Pak ?’ suara Bu Rani membuyarkan lamunanku. ‘Eh, ya,’ sejenak kutergagap. ‘Tolong siapkan undangan rapat para kepala divisi untuk hari Senin, tanggal 20 Juli ya,’ ‘Acaranya, Pak ?’ ‘Tuliskan saja perkenalan dan sumbang saran. Di ruang rapat ya, Bu Rani.’ ‘Siap, Pak,’ ujarnya sambil menulis di buku kecil yang selalu dibawanya bila menghadapku. ‘Ada lagi, Pak ?’ ‘Cukup Bu Rani, terimakasih.’ ‘Saya boleh pergi, Pak ?’ Tampaknya aku harus selalu mengucapkan kalimat yang sama padanya, ‘Silakan Bu Rani, terimakasih.’

Seusai menandatangani beberapa surat yang perlu dikirimkan, aku melangkahkan kaki keluar kantor menuju meja pelayanan Customer Service. Beberapa wajah perempuan yang nyaris tanpa polesan dan raut muka karyawan laki-laki yang acuh tak acuh menyambutku. Seakan tak menyadari apalagi menghargai kehadiranku, mereka terus melayani tiga klien dengan keramahan seadanya. Aku mesti memulainya, pikirku. ‘Selamat siang,’ sapaku. ‘Siang, Pak’, sahut mereka nyaris berbarengan, nyaris tanpa ekspresi. Batinku tersenyum, getir.

Kutempati sebuah kursi yang masih kosong di ruangan itu sambil memperhatikan dengan santai apa yang ada di sana. Deretan meja usang, entah buatan tahun berapa, aku tak mampu menduganya, dipadu dengan kursi-kursi kayu yang juga tampak lusuh. Tiga lukisan  kecil tak terawat tergantung pada beberapa bagian dinding yang ‘panuan’ di sana-sini. Di pojok kanan depan ada sebuah vas yang dipenuhi bunga plastik berdebu, yang untuk terakhir kalinya dibersihkan setahun yang lalu agaknya.

‘Penelitian’ku buyar kala telingaku menangkap ‘adu mulut’ antara salah seorang petugas customer service dengan klien. ‘Kan waktu itu saya sudah bilang, tuliskan alamat yang jelas pada kiriman Bapak. Bapak tidak mau mengerti. Nah ini jadinya.’ Si Bapak tak mau kalah,’Perusahaan kamu yang tidak becus. Mau jelas bagaimana lagi, hah ? Saya tidak mau tahu.’ ‘Tidak mau tahu ya sudah. Saya juga tidak mau tahu ! Itu urusan Bapak sendiri !’

Si Bapak tak mampu menyembunyikan raut wajah geramnya. Kuhampiri mereka. ‘Ada apa Wina ?’ tanyaku pada petugas customer service yang bersitegang itu. ‘Kiriman Bapak ini ke Bandung yang dikirim dua minggu yang lalu belum sampai, Pak. Waktu itu saya sudah nasehati agar mencantumkan alamat yang jelas.’ ‘Saya sudah cantumkan alamat jelas, Nona. Atau ada alamat yang lebih jelas dari itu ?’

Kuulurkan tangan kepada Si Bapak dengan seraut senyum di wajah, ’Maaf, Bapak, saya Greg, pimpinan baru di perusahaan ini. Saya dapat memahami perasaan dan kekesalan Bapak. Mohon beri kami waktu dua hari lagi dan kami akan telusuri kiriman Bapak itu.’ Rasa geram yang tergambar pada raut wajah keras itu berangsur mencair,’Oke, Pak Greg. Saya tunggu, terimakasih.’ Iapun bergegas meninggalkan kursinya. ‘Terimakasih kembali, Pak,’ ujarku mengiringi kepergiannya.

Dengan ucapan,’Oke, saya pergi dulu ya,’ aku berlalu dari ruangan itu. Sejumlah pertanyaan besar mengganggu pikiranku, ‘Inikah yang selalu terjadi dalam hari-hari ini ? Apakah mereka belum mengerti tentang pelayanan dan ‘tugas’ menciptakan kepuasan pelanggan ? Haruskah aku memberikan materi-materi semacam itu kepada mereka ?’  Lagi-lagi, wait the right moment !

Baca Juga :

Click to comment