-->

CATATAN CINTA GREG 2 : I AM THE RIGHT MAN .......!


Kota Kenangan, 12 Juli Tahun Perdana Perkawinan Kami

Terselip keyakinan dalam sanubariku, penampilan, terutama warna, membawa pengaruh pada suasana di sekitar. Dalam keyakinan demikian itu, pagi tadi aku mematut diri di depan cermin besar di kamar tidur kami, sementara istriku bersiap-siap pula hendak ke kantornya.

‘Hari pertama nih ye,’ my nice dove menggodaku. ‘Iya dong,’ jawabku pendek. Cath membetulkan lilitan dasi biru tua yang bertengger di leherku, berpadu dengan kemeja panjang biru muda dan celana hitam.

Taklah berlebihan kalau kukatakan, Cath Sang Arsitek Properti adalah juga Sang Arsitek Penampilanku. Dialah yang selalu memberi saran setelan mana yang cocok untuk profesiku, sekalian dengan paduan warnanya. ‘Warna ikat pinggangmu harus sama dengan warna sepatumu, Mas. Itu baru pas. Lalu, usahakan selalu keserasian antara warna dasi dan kemejamu.’ Dengan jenaka kusimak setelan yang kupakai sambil berujar,’O, begitu ya?’ “Ngeledek ya. Udah, rapiin aja sendiri.’ Segera kutarik Cath ke pelukanku dan kubisikkan,’Nggak Sayang, tapi kamu makin cantik aja kalau marah gitu.’ ‘Abis, kamu sih. Dilanjutin nggak ‘ceramah’nya ?’ ‘Silakan, Tuan Putri,’ sahutku. ‘Pakaianmu juga tak perlu selalu konservatif, Mas, dengan warna-warna yang biasa-biasa aja, perlu agak liberal agar ada ‘warna’ segar yang menyebar di sekitarmu.’ “Thank you, nice dove, I love you !’ dan kami ber-mmmhhh sejenak, sapaan mesra selamat pagi.

‘Sembilan puluh sembilan persen keberhasilan seseorang tergantung pada penampilannya,’ begitu kira-kira ujaran Mien Uno, pakar etiket. Bahkan Junaedhi menulis, penampilan yang bagus, apakah itu dalam cara berbusana, merek mobil, atau perilaku yang mengesankan, agaknya memang sudah dianggap sebagai simbol martabat, dan integritas. Akibatnya sekarang, salon-salon tak hanya dikunjungi kaum wanita tetapi juga pria. Kaum pria masa kini diam-diam sudah pandai bersolek, sesuatu yang dulu hanya milik kaum wanita.

Dalam buku yang lain kubaca, penampilan diri memegang peranan penting dalam pergaulan dan hubungan kita dengan orang lain, entah secara positif, entah negatif. Berkat penampilan kita yang baik itu, orang akan merasa enak di sekitar kita dan mempermudah komunikasi kita dengannya. Begitu tulis Hunsaker dan Alessandra.

Benar, aku sependapat dengan pandangan mereka. Penampilan diri yang bagus, tak pelak, memang harus dianggap sebagai sebuah simbol. Dan semua itu secara serentak bisa membuat semua orang lekas percaya pada kita dan sekaligus sanggup meletakkan kita pada tempat seharusnya. Ini yang saat ini kubutuhkan dari mereka,

Mario Teguh pernah berkata, ‘Untuk menilai integritas seseorang, kita butuh waktu tak kurang dari sekitar empat menit pertama.’ Inilah yang ingin kurebut dari mereka, dari ‘bawahan baru’ku. Dan, aku harus berhasil meyakinkan mereka, ‘I’m the right man on the right position!’

Di era penuh kompetisi ini, kata Eileen Rachman, setiap ada kesempatan, ‘kehadiran’ kita perlu dibuat seefektif mungkin. Kita perlu membuat posisi yang kita kehendaki dan mengupayakan agar kehadiran kita membawa aura dan dampak positif. Kita perlu senantiasa menampilkan kredibilitas, kompetensi dan supremasi kita melalui gaya berkomunikasi, kekuatan mempengaruhi orang lain, dan membuat kesan yang tidak terlupakan. Semua orang sadar bahwa warna, kerapian, kesesuaian, dan pilihan bahan pakaian membawa efek psikologis pada pihak yang mencerapnya.

Langkah pertamaku di kantor baru itu kuhias dengan senyuman dan ucapan selamat pagi. Sejenak beberapa karyawan yang ada di situ terkesima, bahkan ternganga. Aku menduga, mereka amat jarang, bahkan nyaris tak pernah ‘mendengarkan’ ucapan atau sekedar bisikan semacam itu dari para ‘petinggi’ perusahaan. Aku percaya, ada yang mengganggapku berlebihan menuliskan ini. Tapi, sungguh-sungguh, ini kenyataan yang kualami.

Sejurus kemudian, beberapa wajah yang terkesima dan tegang tampak mencair, dan seketika itu pula ulasan senyum kaku menghiasi wajah mereka. ‘Lumayan,’ batinku, ’masih terselip senyuman di antara deretan wajah yang tetap tegang, hampir-hampir tanpa ekspresi segar.’

Dengan menegas-negaskan langkah, aku berjalan menuju ruang Direktur, yang dari kemarin kutahu, menempati suatu pojokan di bagian Barat kantor ini. Kuhenyakkan bokong ke kursi teramat empuk yang ada di situ. Kursi itu bahkan mengenggelamkan tubuhku yang berukuran sedang. Aku tersenyum sendiri, geli. ‘Rasain loe, siapa suruh mungil.’ Sesungguhnya aku tidaklah mungil-mungil amat, tapi untuk ukuran kursi ini, aku memang ‘tak ada apa-apanya’.

Baru menikmati seteguk teh hangat yang kubuat sendiri, seseorang mengetuk pintu dan kupersilakan masuk. Seorang perempuan, kutaksir berusia empat puluhan, menghampiri meja kerjaku. Sederetan kata mengalir deras dari mulutnya sambil membungkuk hormat, ’Saya Rani, sekretaris Direktur, siap membantu Bapak bila dibutuhkan, kantor saya di samping kantor Bapak dan ekstensi telepon saya 215.’

Terus terang, aku hampir tersedak mendengar ‘berondongan’ yang lebih mirip laporan komandan upacara bendera. Tapi, aku tetap tersenyum sambil menyalaminya. “Okelah, Bu Rani, aku senang bertemu dengan Anda. Kalau ada perlu aku akan menghubungi Anda. Trims ya.’ ‘Berarti saya sudah boleh pergi, Pak ?’ ujarnya tetap dalam gaya ‘formal’. ‘Silakan, terimakasih’, sahutku. ‘Terimakasih kembali, Pak,’ tuturnya sambil kembali membungkuk hormat.

Aku tertegun, inikah budaya yang ada di perusahaan ini ? Tapi, ada suara lain dalam batinku,’Wait and see. Jangan apriori dulu. Kalaupun memang begitu, pelan-pelan, ubahlah ! Ingat kalimat manis dari Denis Waitley, ‘Dalam hidup ini hanya ada dua pilihan yang paling penting : terima keadaan seperti apa adanya atau terima tanggung jawab untuk mengubahnya.’

Sore itu aku pulang setelah seharian berkutat dengan berbagai macam pekerjaan administratif di kantor. Terukir sesuatu dalam benakku,’Aku harus belajar dan belajar lebih dan lebih banyak lagi tentang ‘perusahaan baru’ku ini.’ Tak kenal maka tak sayang, kata orang. Tapi, mudah-mudahan bukan sebaliknya yang terjadi padaku, semakin mengenal maka semakin tak menyayangi. Ah, pasti tidak dan tidak boleh !  Ini tantangan yang harus kuhadapi dan ………...kumenangkan !

Baca Juga :

    Click to comment