Terselip
keyakinan dalam sanubariku, penampilan, terutama warna, membawa pengaruh pada
suasana di sekitar. Dalam keyakinan demikian itu, pagi tadi aku mematut diri di
depan cermin besar di kamar tidur kami, sementara istriku bersiap-siap pula
hendak ke kantornya.
‘Hari
pertama nih ye,’ my nice dove menggodaku. ‘Iya dong,’ jawabku pendek. Cath membetulkan lilitan dasi biru tua yang bertengger di leherku, berpadu
dengan kemeja panjang biru muda dan celana hitam.
Taklah
berlebihan kalau kukatakan, Cath Sang Arsitek Properti adalah juga Sang
Arsitek Penampilanku. Dialah yang selalu memberi saran setelan mana yang cocok
untuk profesiku, sekalian dengan paduan warnanya. ‘Warna ikat pinggangmu harus
sama dengan warna sepatumu, Mas. Itu baru pas. Lalu, usahakan selalu keserasian
antara warna dasi dan kemejamu.’ Dengan jenaka kusimak setelan yang kupakai
sambil berujar,’O, begitu ya?’ “Ngeledek ya. Udah, rapiin aja sendiri.’ Segera
kutarik Cath ke pelukanku dan kubisikkan,’Nggak Sayang, tapi kamu makin cantik
aja kalau marah gitu.’ ‘Abis, kamu sih. Dilanjutin nggak ‘ceramah’nya ?’
‘Silakan, Tuan Putri,’ sahutku. ‘Pakaianmu juga tak perlu selalu konservatif,
Mas, dengan warna-warna yang biasa-biasa aja, perlu agak liberal agar ada
‘warna’ segar yang menyebar di sekitarmu.’ “Thank you, nice dove, I love you
!’ dan kami ber-mmmhhh sejenak, sapaan mesra selamat pagi.
‘Sembilan
puluh sembilan persen keberhasilan seseorang tergantung pada penampilannya,’
begitu kira-kira ujaran Mien Uno, pakar etiket. Bahkan Junaedhi menulis,
penampilan yang bagus, apakah itu dalam cara berbusana, merek mobil, atau
perilaku yang mengesankan, agaknya memang sudah dianggap sebagai simbol
martabat, dan integritas. Akibatnya sekarang, salon-salon tak hanya dikunjungi
kaum wanita tetapi juga pria. Kaum pria masa kini diam-diam sudah pandai
bersolek, sesuatu yang dulu hanya milik kaum wanita.
Dalam
buku yang lain kubaca, penampilan diri memegang peranan penting dalam pergaulan
dan hubungan kita dengan orang lain, entah secara positif, entah negatif.
Berkat penampilan kita yang baik itu, orang akan merasa enak di sekitar kita
dan mempermudah komunikasi kita dengannya. Begitu tulis Hunsaker dan
Alessandra.
Benar,
aku sependapat dengan pandangan mereka. Penampilan diri yang bagus, tak pelak,
memang harus dianggap sebagai sebuah simbol. Dan semua itu secara serentak bisa
membuat semua orang lekas percaya pada kita dan sekaligus sanggup meletakkan
kita pada tempat seharusnya. Ini yang saat ini kubutuhkan dari mereka,
Mario
Teguh pernah berkata, ‘Untuk menilai integritas seseorang, kita butuh waktu tak
kurang dari sekitar empat menit pertama.’ Inilah yang ingin kurebut dari
mereka, dari ‘bawahan baru’ku. Dan, aku harus berhasil meyakinkan mereka, ‘I’m
the right man on the right position!’
Di
era penuh kompetisi ini, kata Eileen Rachman, setiap ada kesempatan,
‘kehadiran’ kita perlu dibuat seefektif mungkin. Kita perlu membuat posisi yang
kita kehendaki dan mengupayakan agar kehadiran kita membawa aura dan dampak
positif. Kita perlu senantiasa menampilkan kredibilitas, kompetensi dan
supremasi kita melalui gaya berkomunikasi, kekuatan mempengaruhi orang lain,
dan membuat kesan yang tidak terlupakan. Semua orang sadar bahwa warna,
kerapian, kesesuaian, dan pilihan bahan pakaian membawa efek psikologis pada
pihak yang mencerapnya.
Langkah
pertamaku di kantor baru itu kuhias dengan senyuman dan ucapan selamat pagi.
Sejenak beberapa karyawan yang ada di situ terkesima, bahkan ternganga. Aku
menduga, mereka amat jarang, bahkan nyaris tak pernah ‘mendengarkan’ ucapan
atau sekedar bisikan semacam itu dari para ‘petinggi’ perusahaan. Aku percaya,
ada yang mengganggapku berlebihan menuliskan ini. Tapi, sungguh-sungguh, ini
kenyataan yang kualami.
Sejurus
kemudian, beberapa wajah yang terkesima dan tegang tampak mencair, dan seketika
itu pula ulasan senyum kaku menghiasi wajah mereka. ‘Lumayan,’ batinku, ’masih
terselip senyuman di antara deretan wajah yang tetap tegang, hampir-hampir
tanpa ekspresi segar.’
Dengan
menegas-negaskan langkah, aku berjalan menuju ruang Direktur, yang dari kemarin
kutahu, menempati suatu pojokan di bagian Barat kantor ini. Kuhenyakkan bokong
ke kursi teramat empuk yang ada di situ. Kursi itu bahkan mengenggelamkan
tubuhku yang berukuran sedang. Aku tersenyum sendiri, geli. ‘Rasain loe,
siapa suruh mungil.’ Sesungguhnya aku tidaklah mungil-mungil amat, tapi untuk
ukuran kursi ini, aku memang ‘tak ada apa-apanya’.
Baru
menikmati seteguk teh hangat yang kubuat sendiri, seseorang mengetuk pintu dan
kupersilakan masuk. Seorang perempuan, kutaksir berusia empat puluhan, menghampiri meja kerjaku. Sederetan kata
mengalir deras dari mulutnya sambil membungkuk hormat, ’Saya Rani, sekretaris
Direktur, siap membantu Bapak bila dibutuhkan, kantor saya di samping kantor
Bapak dan ekstensi telepon saya 215.’
Terus
terang, aku hampir tersedak mendengar ‘berondongan’ yang lebih mirip laporan
komandan upacara bendera. Tapi, aku tetap tersenyum sambil menyalaminya.
“Okelah, Bu Rani, aku senang bertemu dengan Anda. Kalau ada perlu aku akan
menghubungi Anda. Trims ya.’ ‘Berarti saya sudah boleh pergi, Pak ?’ ujarnya
tetap dalam gaya
‘formal’. ‘Silakan, terimakasih’, sahutku. ‘Terimakasih kembali, Pak,’ tuturnya
sambil kembali membungkuk hormat.
Aku
tertegun, inikah budaya yang ada di perusahaan ini ? Tapi, ada suara lain dalam
batinku,’Wait and see. Jangan apriori dulu. Kalaupun memang begitu,
pelan-pelan, ubahlah ! Ingat kalimat manis dari Denis Waitley, ‘Dalam hidup ini
hanya ada dua pilihan yang paling penting : terima keadaan seperti apa adanya
atau terima tanggung jawab untuk mengubahnya.’
Sore itu aku pulang setelah seharian berkutat dengan berbagai
macam pekerjaan administratif di kantor. Terukir sesuatu dalam benakku,’Aku
harus belajar dan belajar lebih dan lebih banyak lagi tentang ‘perusahaan
baru’ku ini.’ Tak kenal maka tak sayang, kata orang. Tapi, mudah-mudahan bukan
sebaliknya yang terjadi padaku, semakin mengenal maka semakin tak menyayangi.
Ah, pasti tidak dan tidak boleh ! Ini
tantangan yang harus kuhadapi dan ………...kumenangkan !
Baca Juga :
- RISIKO DEPRESI PEREMPUAN PERIMENOPAUSE
- MENGAPA LANSIA DEPRESI ?
- CARA MENGENALI TANDA-TANDA DEPRESI PADA LANSIA
- APAKAH STRES ITU (BISA) BAIK ?
- PERAN PENTING PASANGAN MERETAS STRES PADA EKSEKUTIF
- TANDA-TANDA STRES PADA EKSEKUTIF
- MENGENAL DAN MENGATASI KEJANG DEMAM PADA ANAK
- MENGATASI RASA TIDAK SUKA PADA PEKERJAAN
- TIPS SMART PANGKAS ASUPAN KALORI
- PEMIMPIN VISIONER: PRIBADI UNGGUL
- PEMIMPIN TRANSFORMASIONAL: PEMIMPIN VISIONER
- TIPS PACARAN SEHAT
- TIPS SARAPAN SEHAT
- SENANDUNG BIJAK SANG FILSUF : GORESAN…….
- WANTED : PEMIMPIN TRANSFORMASIONAL !!!
- TIPS MUDIK SEHAT
- APA RISIKO KESEHATAN ANAK OBESITAS ?
- SENANDUNG BIJAK SANG FILSUF : KACAMATA KEPEKAAN......