Stres!
Kata itu sekarang sudah sangat sering kita dengar ya, Dok!
Benar,
Pak Tanu, kata itu dengan sangat enteng disampaikan banyak orang dalam banyak
kesempatan, tak terkecuali pasien-pasien yang berkonsultasi dengan saya. Bahkan
pasien dengan keluhan apapun. ‘Waduh, Dok, kalau saya lagi stres, rasanya semua
memuncak dan kepala seperti mau pecah!’, ‘Jangan-jangan penyakit saya ini
akibat stres ya, Dok?’, ‘Apa saya kelihatan seperti orang stres, Dok?’, ‘Mana
suami bikin saya stres lagi!’.
Stres
memang akrab dengan kita, Pak. Semua aktivitas kita menyebabkan stres. Tapi tidak
semua kita mengetahui dengan pas apa itu stres. Nah, apa itu stres? Stres adalah
keadaan tidak menyenangkan sebagai reaksi atas segala sesuatu yang dirasa
membahayakan atau mengancam kenyamanan hidup. Reaksi itu bisa reaksi psikologik
atau fisiologik. Reaksi psikologik berarti reaksi jiwa kita sedangkan reaksi fisiologik
adalah reaksi organ-organ tubuh kita, Pak Tanu. Sekarang kita bicarakan reaksi
psikologik saja, Pak.
Reaksi
psikologik itu dalam bentuk apa, Dok?
Salah
satunya perasaan tegang. Ketegangan meningkatkan kadar hormon adrenalin dalam
diri seseorang, Pak Tanu. Hormon ini dikenal sebagai hormon ‘fight or flight’,
melawan atau lari. Sebenarnya ketegangan menghasilkan kesiagaan. Salah seorang
petenis terkenal pernah mengatakan, ‘Kalau saya tidak merasa tegang saat akan
bertanding, saya akan gantungkan raket dan tidak akan pernah bertanding lagi!’. Jadi, ketegangan membantunya untuk lebih bersemangat dan akhirnya……menang!
Contoh
lain, Pak Tanu, apa yang terjadi kalau tiba-tiba seorang gadis dihampiri kecoak
padahal dia fobia kecoak. Muncul ketegangan. Nah, ketegangan itu bisa berakibat
baik atau buruk. Kalau gadis yang merasa tegang itu berlari menghindar dari kecoak
tadi berarti akibat ketegangannya baik. Tapi kalau dia diam di tempatnya
sembari gemetaran, menangis dan tak tahu berbuat apa-apa, berarti ketegangan
itu berakibat buruk.
Reaksi
psikologik lainnya, Dok?
Rasa
tertekan. Dalam masyarakat kita, kata tertekan sering diidentikkan dengan
ketidakberdayaan, menjadi pihak yang dikorbankan dan pecundang, tidak mampu
berbuat apa-apa, pasrah menerima ‘nasib’. Padahal rasa tertekan itu sendiri
tidak selalu buruk. Rasa tertekan itu seharusnya dipandang positif. Rasa tertekan
bisa dipakai untuk meningkatkan performa kita. Ingat lagu Meggy Z, Pak?
Yang
mana, Dok?
Ini
sedikit liriknya, Pak, ‘Jangankan diriku, semutpun kan marah bila terlalu…….sakit
begini’.
Wis,
ngedangdut juga, Dokter!
Ya
perlu tahu sedikit-sedikitlah, Pak. Ha ha ha. Meggy Z menggambarkan semut yang
bisa marah kalau dia sakit dan tertekan. Nah, kalau semut yang kecil itu saja bisa marah
kalau tertekan dan sakit, apalagi kita, kan Pak? Sangat sering kita justru
butuh tekanan untuk menunjukkan siapa kita! Atlit sepakbola yang tidak mendapat
tekanan dari pelatih dan penonton mungkin tidak akan menunjukkan permainan yang
prima. Begitu juga dengan aktor atau aktris di panggung hiburan. Bagaimana
performa perusahaan kalau pemilik perusahaan tidak secara proporsional ‘menekan’
manajer dan karyawan perusahaan? Jadi, tekanan seharusnya meningkatkan
performa, Pak Tanu.
Tapi
sering juga orang yang sedang stres jadi emosional, Dok.
Tepat
sekali, Pak. Reaksi psikologik lain yang juga sering dihasilkan oleh stres adalah
emosi negatif, bisa berujung pada kecemasan atau bahkan ketakutan. Masalahnya
bukan pada emosi atau perasaan karena emosi atau perasaan itu milik kita
pribadi secara sangat alamiah dan manusiawi. Masalahnya terletak pada melapiaskan
emosi dengan cara-cara produktif, kreatif, bahkan inovatif.
Kecemasan
bahkan ketakutan itupun sebenarnya bisa baik, Pak. Sekali lagi, kalau dikelola
dengan baik. Orang yang cemas dengan penyakitnya akan mencari banyak cara untuk
mengobatinya agar bisa sembuh. Anak yang takut melihat film horor di televisi akan
menutup matanya saat film horor itu diputar, atau dia menghindar dengan masuk
ke kamarnya dan tidur. Ini contoh-contoh kecil bagaimana kecemasan bahkan
ketakutan itu ‘memaksa’ kita mencari cara untuk mengenyahkannya dan semua cara
itu diharapkan akan membantu kita untuk lebih maju dan berkembang.
Jadi,
seharusnya stres itu membantu kita menjadi maju dan lebih berkembang, Dok?
Tepat
sekali, Pak. Asal…….!
Asal
apa, Dok?
Asal
intensitas dan frekuensi stres yang dihadapi tidak lebih dari yang bisa kita
tanggung. Dan itu sangat individual dan situasional. Ada orang yang tahan
terhadap stres tertentu sementara orang lain tidak. Ada orang yang tahan
terhadap stres tertentu sementara tidak tahan terhadap stres pada situasi yang
lain. Di sinilah dibutuhkan ‘latihan menghadapi stres’ agar ambang ketangguhan
kita menghadapi stres makin lama makin tinggi.
Jadi,
stres itu baik ya, Dok.
Ya,
Pak, seharusnya bisa mengubah 'uhuk uhuk' menjadi 'hua ha ha ha', tapi syarat dan ketentuan berlaku, ha ha ha.
Baca Juga :
- CARA MUDAH KENALI HIPOGLIKEMIA PADA DIABETESI
- OBESITAS: PENTING MANA, BMI ATAU LINGKAR PERUT ?
- TIPS PENTING 'MEMAKSA' KARYAWAN MENGAKUI KEBOHONGAN
- DIET KELIRU PENGUNDANG PENYAKIT
- CARA PENTING MEMBANTU ANAK DISLEKSIA
- ANAK IBU SULIT BELAJAR ? JANGAN-JANGAN DISLEKSIA !
- APA ITU SINDROM METABOLIK ?
- APA ITU 'KERACUNAN GULA' ?
- APA ITU PREDIABETES ?
- KEINTIMAN SUAMI ISTRI: VVIT !
- KEJANG DEMAM YANG HARUS DIWASPADAI
- RISIKO DEPRESI PEREMPUAN PERIMENOPAUSE
- MENGAPA LANSIA DEPRESI ?
- CARA MENGENALI TANDA-TANDA DEPRESI PADA LANSIA
- TIPS SARAPAN SEHAT
- SENANDUNG BIJAK SANG FILSUF : GORESAN…….
- WANTED : PEMIMPIN TRANSFORMASIONAL !!!